Keraguan akan standarisasi SNI sebenarnya diawali saat beberapa tahun yang lalu, dengan maraknya penjualan helm motor yang dibanderol dengan harga di bawah seratus ribuan, yang sering dijajakan di pinggir jalan. Di Indonesia, soal harga jangan pernah ditanya. Rumah dan apartemen puluhan miliar aja laku bak tahu bulat digoreng dadakan di pinggir jalan limaratusan, apalagi macem barang murah seperti ini.
Yang agak mengherankan helm yang dijajakan di pinggir jalan namun tidak digoreng secara dadakan itu, semuanya sudah dilabeli tanda SNI, iya Standarisasi Nasional Indonesia. Yang artinya helm tersebut sudah melewati proses standarisasi, sudah terjamin untuk digunakan konsumen. Dengan harga 70 ribuan, helm yang bisa dibilang sangat ringan sekaligus ringkih. Ini sudah distandarisasi loh, aman untuk endhasmu. Aman mbahmu kiper!
Silakan coba sendiri seperti apa material helmnya, setelah itu coba banting. Tapi saya tidak akan membahas lebih lanjut, karena sebenarnya helm murmer ini memang sangat menolong pengendara motor dengan dana yang cekak. Polantas pada saat itu sedang getol-getolnya razia helm yang wajib sudah memiliki cap SNI. WAJIB, KUDU! Bahkan pengendara yang menggunakan helm internasional dengan standarisasi DOT saja tetap ditilang karena belum SNI. Bayangkan jika para pengendara ini yang sehari-harinya untuk beli bensin saja sudah sulit, masih harus dipaksa membeli helm mahal yang sudah melewati proses crash test. Kreditan motor saja belum lunas, Bung.
Setelah melewati beberapa tahun, kecurigaan ini kembali muncul ketika keponakan saya yang berumur satu setengah tahun lebih dan masih unyu-unyu ini, dibelikan sepeda roda tiga yang berbahan plastik. Tertera di bagian belakang spakbor logo SNI, yang artinya sepeda ini sudah seharusnya telah melewati proses uji, sudah memenuhi standar dan kriteria yang sudah ditetapkan. Apa hasilnya?
Jangankan mau dibawa kebut-kebutan lawan mark markes sambil cari cabe-cabean. Digenjot berapa gowesan saja sudah mau rontok semua part yang menempel di sepedanya ini. Harganya bisa dibilang tidak murah juga loh, tapi apa yang mau dipakai kalau digowes saja sulit. Alhasilnya, keponakan pernah nyungsep di konblok saat sepeda ini coba digowes di jalanan depan rumah. Duh, akhirnya baru sekitar satu bulan sepeda ini terpaksa masuk gudang karena benar-benar tidak layak untuk digunakan kembali.
Apa iya, sepeda atau alat-alat bayi lainnya ini memang sudah layak untuk diberikan tanda SNI. Apa semuanya benar-benar memiliki kualitas yang baik, sesuai dengan fungsi dan kemauan dari konsumen? Jangan-jangan SNI di Indonesia ini hanya sebatas administrasi belaka, semua produk yang mendaftarkan produknya akan langsung mendapatkan standarisasi tanpa melewati proses uji. Atau mungkin ada praktik suap saat proses uji produk tersebut --ah terlalu jauh membicarakan hal ini.
Intinya, konsumen sudah seharusnya berhak mendapatkan kualitas yang terbaik sesuai dengan standarisasi. Sebagai konsumen pun, saya yakin sebagian besar dari kita bahkan tidak tahu dimana batas standarisasi yang dilakukan BSN selalu pengambil kebijakan soal SNI. Mungkin saja terlalu rendah, dan ekspektasi saya terlalu besar.
Tapi jika barang itu hanya aman soal bahan, tapi abai soal keselamatan dan kualitas barang, buat apa distandarisasi? Semakin dipikirkan, semakin membuat saya yakin jika SNI di Indonesia hanya berkutat soal administrasi. Jika begitu mengapa tidak sekalian diubah saja menjadi Administrasi Nasional Indonesia, lebih singkatnya menjadi ANI.
Jauh lebih jelas, dan mudah dipahami bukan?
No comments:
Post a Comment