Tahun 2008, menjadi tahun di mana saya diputuskan untuk menjadi apa selanjutnya di dunia ini. Di saat rekan sebaya sibuk dengan agenda ujian penyaringan masuk universitas, kaki ini seolah tidak ingin melanjutkan langkah kembali, kerja otak sepertinya sudah harus rehat setelah mengetahui hasil ujian Sekolah Akuntansi Negara memutuskan otak saya tidak memenuhi kriteria untuk menjadi ekonom. Ilmu yang sudah ditanamkan sejak kecil di bangku sekolah menjadikan pemikiran saya terlalu konservatif, jika ingin sukses dengan dalam hal materi cobalah untuk intim dengan salah satu elemennya. Jika ingin sukses membangunkan Indonesia agar tidak selalu ditulis sebagai negara berkembang di buku-buku pelajaran, tapi akan ditulis sebagai negara maju. Cobalah menggauli kumpulan besar lembaran merah Soekarno-Hatta yang biasanya hanya hinggap di tanggal muda.
Urusan membangun Indonesia, Si Doel mungkin yang akan lebih paham, apa artinya menjadi sarjana dengan segudang ilmu yang didapat tapi hanya diterapkan di Opletnya Babeh. Mandra tanpa sekolah pun mampu dengan mahir mengoperasikannya. Apa artinya jika menjadi sarjana tapi selanjutnya hanya digunakan untuk diri sendiri. Apa artinya menjadi sarjana jika membedakan penggunaan "di" saja bingung harus dipisah atau disambung, atau apa artinya menjadi sarjana jika hanya semata-mata demi mendapatkan jabatan yang lebih tinggi di sebuah korporasi. Cobalah untuk memahami fungsi mengapa sebaiknya satu orang sarjana itu memberikan kontribusi ilmunya kepada negara. Niscaya ratusan ribu lulusan sarjana tiap tahunnya akan membuat Indonesia yang sebenarnya kaya ini menjadi ultra digdaya.
Pemikiran yang sudah tertanam terlalu dalam, mewajibkan saya harus sukses di dunia ekonomi. Menguasai dunia finansial. Menjadi pengusaha mandiri dan mencetak ribuan lowongan kerja. Itu yang selalu digadang-gadangkan di program pemerintah. Tapi kenyataannya tak semua orang bisa menguasai dengan baik dunia finansial, untuk mengerti apa arti ekonomi makro ataupun mikro pun harus bolak-balik buku terlebih dahulu, saya salah satunya. Takdir bagi saya seakan menghentikan langkah untuk memberikan kontribusi nyata untuk negara. Berhenti.
Otak menemui titik buntu untuk berpikir apa lagi yang bisa dilakukan sebelumnya akhirnya saya memutuskan untuk menggemakan Indonesia melalui dunia penyiaran. Dan sampai akhirnya juga menyadari ternyata pemikiran saya terlalu kolot, polos, dunia penyiaran yang sudah dijalani ternyata tidak semuanya berjalan lurus, terlalu banyak obstacles, intrik, dibumbui dengan politik yang menguasai media. Hingga dunia yang terlalu keras dengan persaingan rekan kerja dengan cara yang menjijikkan. Rasanya semua moral baik yang ditanamkan di buku PPKN sejak sekolah dasar itu hanya omong kosong belaka, kumpulan ucapan manis sebelum menemui realitas.
Sampai akhirnya waktu di dua minggu lalu, menjelang menutupnya Bulan Juli di tahun Monyet, saya mendapatkan kesempatan yang tidak semua orang memilikinya. Menebarkan virus yang sudah saya pelajari dan arungi selama waktu tiga tahun di salah satu divisi milik grup media Papa Jakob Oetama. Bukan di Jakarta atau kota-kota besar lainnya, buat apa? Setiap jengkal Jakarta sudah tersedia ratusan ribu sarjana yang siap menuai virusnya.
Akhirnya kaki dijejakkan di wilayah yang hanya memiliki dua waktu penerbangan dari Jakarta ini. Gorontalo menjadi provinsi yang akhirnya memberikan kesempatan jika ilmu yang saya miliki sebagai sarjana sebetulnya akan jauh lebih berguna jika dibagikan di beberapa penjuru Indonesia.
Provinsi ke-32 Indonesia ini memiliki ratusan kekayaan wisata yang tak terbatas keindahannya. Ironis, dari sejak tiba hingga saat saya memaparkan di ruang kelas sekitar 10 anak muda yang saya temui dari driver, hingga mahasiswa justru tidak mengetahui potensi kekayaan sumber daya yang mereka miliki. Atau mungkin lebih tepatnya mereka kurang memahami dan menyadari kekayaan alam yang sudah mereka miliki. Untuk mengetahui wisata yang ada di sana saja, sekitar 10 anak muda itu tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan pertanyaan saya, dengan jawaban yang cukup membuat siapapun wisatawan bimbang jika ke sana. Atau ada juga bahkan dari 10 anak muda ini yang belum pernah ke lokasi wisata yang ada di Gorontalo. Duuhh.
Hal serupa juga terjadi ketika saya ingin mencicipi makanan khas Gorontalo, makanan yang benar-benar khas tidak ada di kota lain, tidak ada di Jakarta lebih tepatnya. Tahu saya dibawa ke mana? Destinasi kuliner pertama saya di Gorontalo terpaksa harus singgah di rumah makan yang memiliki nama yang cukup unik dan juga asing di telinga saya, dan apesnya restoran ini ternyata hanya menyediakan menu paket ayam bakar. Ayam bakar di Jakarta berserakan, Bung. Pertama saya berpikir jika mungkin saja, driver yang ikut mengantarkan kami itu memang kurang wawasan terkait makanan khas di sini, atau mungkin juga dia pendatang. Tapi ketika saya tanyakan ke beberapa mahasiswa dan penduduk di sana, rupanya sama saja. Saya malah direkomendasikan untuk makan di mal satu-satunya yang ada di Gorontalo, dan juga pergi ke cafe-cafe, duh.
Sambil menggarukkan kepala dengan sangat serius, akhirnya saya memutuskan untuk menggunakan keilmuan saya selama belajar di Google University. Hasil pencarian tak kalah mengecewakannya seperti jawaban anak muda sebelumnya, hanya sedikit artikel yang membahas wisata maupun makanan khas Gorontalo, sekalipun ada penjelasannya lumayan menambah kebimbangan. Silakan googling untuk membuktikannya. Harapan terakhir kami ada di pundak crew KompasTV yang ada di Gorontalo --lebay-- walaupun pada pertamanya saya kembali diajak ke cafe, Hahaha. Tapi beruntungnya ada menu khas di cafe ini, Pisang Goroho namanya, kripik pisang yang diberi cocolan sambal. Akhirnya berjam-jam sudah waktu berlalu, dan saya sibuk mengorek habis-habisan hal keunikan apapun yang ada di Gorontalo.
"Jangan sekali-kali menerima air putih dari wanita tidak terlalu dekat di sini, bisa-bisa betah di sini dan enggak balik ke Jakarta," seloroh salah satu crew KompasTV.
Saya menimpali dengan jawaban tebakan jika salah satu crew KompasTV ini berarti telah meminum air putih dari wanita Gorontalo, pasalnya dia sendiri berasal dari Cianjur dan baru setelah 13 tahun akhirnya dia memutuskan untuk pulang kampung, itupun sebentar. Habis sudah materi candaan, akhirnya saya mendapatkan jawaban dari semua teka-teki semenjak saya menginjakkan kaki di kampungnya Norman Kamaru ini.
Ilabulo dan Milu Siram. Dua makanan ini yang saya harus rekomendasikan kepada seluruh pembaca ketika berkunjung ke Gorontalo, sebelum kalian kebingungan mau makan apa di tempat ini. Ilabulo makanan pertama yang paling menarik saya untuk mencicipi, isinya olahan dari tepung sagu dengan isi ampela ati ayam, dibungkus daun pisang dan dibakar sebelum disajikan. Yang kedua adalah Milu Siram, beberapa orang sering berpendapat mirip dengan sajian bubur manado. Tapi bagi saya ini sangat beda, lebih mirip kuah soto. Isinya didominasi dengan jagung, potongan tuna dan parutan kelapa. Tidak suka pedas? Jangan sekali-kali menambahkan sambal di Milu Siram ini, dengan sedikit sambal saja rasanya langsung berubah 180 derajat, super pedas.
Kembali ke sesi presentasi, di tengah penjelasan apa itu Citizen Journalism dan dunia blogging. Ada satu pertanyaan yang cukup menarik dari salah satu mahasiswa, dia bertanya mengenai bagaimana proses yang terjadi walaupun hanya dengan menulis, Gorontalo bisa dikenal lagi lebih luas. Dengan singkatnya jawaban yang saya lontarkan, "Hasil dari prosesnya bergantung pada seberapa niat kalian sebagai warga asli Gorontalo mempromosikan potensi wisata yang kalian miliki". Siapa lagi yang lebih memahami potensi kekayaan yang dimiliki kalau bukan warganya sendiri. Seorang jurnalis travel misalnya, yang ditugaskan dari Jakarta akan membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk menjelajahi Gorontalo, setidaknya satu hingga dua bulan untuk menyelesaikan perjalanannya hingga pelosok.
Tentunya biaya yang dihabiskan Jurnalis itu akan lebih membengkak, apalagi jumlahnya pasti tidak akan terlalu banyak.
Bayangkan, seandainya 50 mahasiswa yang hadir di acara Belajar Bareng Kompas kali ini setidaknya menuliskan minimal 10 artikel, jika ditotal dari keseluruhan, Gorontalo sudah mendapatkan publikasi wisatanya sebanyak 500 artikel, jumlah yang tidak sedikit bukan jika dibandingkan dengan jumlah artikel yang dihasilkan jurnalis travel yang ditugaskan tersebut. Citizen Journalism benar-benar mengambil peran yang sangat lebih saat ini.
Manado bisa terkenal karena Taman Nasional Bunaken, sudah seharusnya Gorontalo dan ratusan kota dan kabupaten lainnya di Indonesia saling bahu-membahu mempromosikan potensi wisatanya masing-masing. Seluruh warga sudah harus ambil bagian sebagai ambassador wisata kota masing-masing. Masa mau menunggu Kementerian Pariwisata yang kerjaannya tiap tahun lebih gemar promosi Bali dan Borobudur yang memang sudah terkenal dari dulunya?
Seandainya seluruh bagian hingga yang terkecil di Indonesia menjadi lokasi pariwisata favorit mancanegara, siapa yang untung? Dari warga hingga negara akan mendapatkan devisa yang luar biasa hanya dengan modal Pariwisata yang sudah diberikan sang pencipta dari sononya. Tinggal dirawat, promosi hingga dunia, dan Indonesia akan menjadi negara terfavorit wisatawan dunia karena ragamnya wisata yang tersedia. Sederhananya virus yang sudah saya tebarkan ini akan sangat berimbas dengan baik dari segi popularitas hingga ekonomi bagi warga Gorontalo khususnya, jika diterapkan dengan baik.
Gorontalo memiliki satu kendaraan khas yang jarang ditemui di kota-kota lain, apalagi Jakarta. Mereka menyebutnya dengan Bentor, walaupun di beberapa daerah lain juga memiliki becak yang telah diubah menggunakan penggerak motor ini. Yang membedakan adalah hampir semua bentor yang ada di Gorontalo ini telah dimodifikasi dengan corak sangat menarik, eye catching, ditambah dengan lampu utama dan body kit, seakan-akan mirip mobil balap. Bahkan ada bentor yang dimodifikasi menghabiskan dana hingga 40 juta karena sudah dilengkapi sound system.
[caption caption="Bentor Gorontalo "][/caption]
Bukan tidak mungkin Bentor ini juga menjadi daya tarik utama wisatawan mau datang ke Gorontalo, atau bahkan mungkin saja ada wisatawan yang sengaja terbang menuju Gorontalo dan mencoba Bentor, kemudian pulang lagi ke kotanya.
Gorontalo punya pulau Saronde, pulau Cinta, Torosiaje dengan Suku Bajo dan puluhan lokasi wisata yang sangat sayang sekali jika tidak dikenal dunia. Atau yang paling menarik saat ini, Wisata Hiu Paus Gorontalo. Ibu Susi Pudjiastuti yang menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan justru juga ikut ambil tugas yang mempromosikan wisata ini. Menteri Susi juga getol memberikan bantuan ke kelompok masyarakat di Kabupaten Bone Bolango, dengan pemberian alat snorkeling dan buku pedoman wisata hiu paus kepada kelompok masyarakat sadar wisata. Nah loh, seharusnya sudah menjadi tugas Menteri Pariwisata ini. Intinya, masyarakat harus sadar dengan potensi wisata yang dimiliki dan apabila tanpa publikasi potensi tersebut akan bergerak sangat lamban, citizen journalist lah yang mengambil peran. Iya, termasuk kalian yang juga membaca artikel ini. Kapan kamu mau segera memberikan kontribusi nyata bagi Indonesia? Sekarang saatnya.
Agen penebar virus citizen journalism selanjutnya sudah dikirim kembali menuju Lampung, seluruh crew Kompas Media telah bergerak untuk kembali menebarkan virus-virus positif yang akan menuai hasil dan didulang bersama-sama rakyat di tambang emas pariwisata hingga seluruh lapisan terkecil Indonesia.
INDONESIA HARUS SEGERA MERDEKA!
Sejak kedatangan ibu susi itu, wisata hiu paus makin rame di kunjungi tp mungkin paus nya jadi stress dan sejak akhir agustus kmrn, mereka menghilang tidak sebanyak sebelumnya yg bisa 17 ekor, sekarang ketemu 1 aja sudah syukur.
ReplyDeleteBtw aku mau berbagi untuk indonesia kak, ajak akuuu bimbing akuuu #Eeap
Wahahahay. Dikunjungi Blogger kaporit.
DeleteAda konsekuensi dari kepopuleran sesuatu hal, harus ada langkah yang merawat hiu tersebut.
Serius nih? Kompasiana sering kebagian ke ujung Indonesia. Ntar gw coba propose ke kantor, tinggal nunggu approval. Boss gw suka ga sama lu, hahaha...