Hal apa yang paling membanggakan bagi penduduk Kabupaten Lamongan? Wilayah pesisir, atau daerah yang menjadi tempat Sunan Drajat menyebarkan agama Islam? Atau mungkin juga klub sepakbola kebanggaan dengan corak biru langit Persela Lamongan. Jika Anda menyebut Lamongan, saat ini yang akan muncul pertama kali di benak Anda adalah kuliner kebanggan mereka, yaitu Pecel dan Soto Lamongan. Silakan cek di sisi jalan-jalan yang ada di ibukota, semua kain penutup kedai pecel lele yang didesain secara khas akan selalu terpampang nama kampung halaman para pejuang pesisir ini.
Jika Tegal telah menginvasi dengan warung makan super sederhana, Padang menggugah lidah dengan kelas yang lebih tinggi, Bangka juga membawa aroma Martabak, Wonogiri sudah berhasil menguasai ibukota dengan olahan daging bulat beserta mie ayam, Lamongan juga telah menginvasi ibukota dengan makanan pesisirnya.
Hampir setiap kedai pecel lele, pedagangnya selalu berasal dari Lamongan, bahkan yang ngaku-ngaku keturunan dari keluarga Lamongan pun banyak demi bisa menjual kuliner ini dengan dibubuhi kata Lamongan agar pembeli lebih percaya jika sajian tersebut asli dan enak. Hampir setiap langkah di ibukota tersedia kuliner ini, mengalahkan gencarnya minimarket menguasai ruko pinggir jalan.
Sayangnya di saat semakin menjamurnya warung pecel lele ini, tidak semuanya benar-benar menyajikan pecel yang benar-benar enak, benar-benar membawa Anda serasa di pinggir pesisir Lamongan. Harus benar-benar selektif, berkunjung dari satu warung ke warung selanjutnya, setiap penikmat pecel lele pasti punya "gacoan" masing-masing. Ketika lidah Anda sudah menemukan rasa yang cocok ke salah satu warung, sudah dipastikan penikmat pecel lele itu akan enggan untuk pindah ke warung-warung pecel lele lainnya.
Hal ini pula yang terjadi pada kita berdua, semenjak dari pacaran hingga saat ini kita berdua paling gemar untuk mengunjungi makanan jalanan dari yang satu hingga ke sudut Jakarta, tak peduli tempatnya jorok sekalipun, haha. Bagi kita, jika penyajiannya masih dalam taraf wajar, pedagangnya menjaga kebersihan dan masih "agak" higienis, selama enak kita akan tetap makan.
Dan salah satu tempat favorit kami setelah menjelajahi ibukota selama dua tahun lebih untuk mencari kitab suci,--halah. Mencicipi dari satu persatu warung yang ada di Jakarta, akhirnya hati kami tertambat pada satu kedai pecel lele yang ada di wilayah Bendungan Hilir. Yang jadi masalahnya pecel lele mana? Di area Bendungan Hilir bisa ada puluhan kedai pecel lele, jika disuruh mencari, itu bagaikan disuruh mencari anak alay yang muncul di acara musik hura-hura di TV, atau bagaikan disuruh lihat rute Transjakarta. Seketika kepala langsung mumet.
Jangan mencari tempat ini di siang hari, karena sebenarnya warung ini buka setelah bengkel Shop & Drive Benhil ini tutup. Jadi warung ini hanya buka setelah beduk maghrib, itu pun abang-abangnya masih beres-beres untuk buka, sekaligus membersihkan kotoran sisa bengkel tersebut, harap maklum jika ketika masih ada aroma khas bengkel jangan heran. Bukan kemewahan yang tersaji di sini.
Sambil menunggu warung ini buka, juga jangan heran ketika pembeli sudah bersiap untuk bertarung mengambil posisi tempat duduk, haha. Saat warung ini dibuka, sekejap langsung berubah seperti layaknya arena hunger games, siapapun orang di sini sedang dalam fase lapar yang paling puncak.
Guidedari saya, cari Shop&Drive yang tepat di seberang Indomaret dan bersebelahan dengan PHD. Itu pun masih kurang, karena beberapa bulan yang lalu, tiba-tiba muncul warung pecel lele persis bersebelahan dengan warung favorit kita ini. Tujuannya sudah pasti untuk memanfaatkan celah yang ada, seperti ketika warung ini penuh dan orang malas untuk antre, atau beberapa orang yang rencana awalnya mau ke pecel lamongan yang ini, tapi nyasar ke warung sebelah. Kenapa saya tidak sarankan ke warung sebelah? Karena yang disajikan ala-ala kuliner masa kini. Dengan dilabeli kata "setan", arahnya sudah ketebak, setiap sajiannya pasti dengan rasa pedas yang gila-gilaan.
Dan menurut kita, bukan karena tidak suka dengan rasa yang pedasnya gila-gilaan. Tapi kalo cuma asal pedas itu akan menghilangkan rasa khas dari makanan itu sendiri, siapapun pasti bisa membuat makanan apapun, jika rasanya cuma asal pedas. Tul ga tul?
Satu hal yang paling membedakan dari warung pecel lain pada umumnya adalah bawang goreng yang bisa diambil sepuasnya, mau makan bawang gorengnya aja pun pake sambel silakan. Memang bukan bawang goreng murni, saya kurang tahu bahannya dari apa tapi sepertinya bawang goreng kiloan yang mirip ada di Indomie Goreng. Tapi bahan sepele ini yang entah kenapa membuat orang menjadi candu. Wadahnya tidak tersedia banyak, tapi saking dibutuhkan dia selalu berpindah-pindah untuk diperebutkan dari meja ke satu ke meja lainnya. Tadi ada di meja 1, tengok sebentar posisinya sudah raib, ilang-ilangan mulu, haha.
Menu yang disajikan memang standar, lebih lengkap sedikit karena ada Gurame, Sate-satean dan udang, selebihnya standar lele dan ayam. Tapi menu favorit pilihan kita berdua adalah lele dan dada ayam, tahu, tempe dipadukan dengan pete yang digoreng kering. Pilihan paling juara yang ada di sini. Beberapa pengunjung juga memiliki kebiasaan yang cukup unik, kembang kol yang biasanya jadi lalapan, juga ikut digoreng kering. Saya pernah coba, tapi kita kurang suka. Tapi juga tidak sedikit orang yang ikut-ikutan untuk menggoreng kembang kolnya, bagi mereka mungkin enak dan unik juga.
Hingga sampai saat ini kita benar-benar seperti kecanduan terlalu akut, karena di setiap bulannya kita tidak akan pernah melewatkan untuk makan di sini. Si mami bahkan rela-rela dari Alam Sutera untuk menjemput saya setelah pulang kerja, hanya untuk makan di tempat ini. Harga yang paling masuk akal, nambah satu porsi sekali lagi pun, totalnya tidak akan melebihi dari lima puluh ribu rupiah saja, kita menyebutnya harga untuk karyawan gaji UMR, takdungces.
Saya tidak akan bercerita soal rasa, karena setiap orang punya taste yang berbeda-beda. Tapi, kuliner jalanan ini adalah rekomendasi terbaik kita jika Anda sedang mampir di area Jakarta Pusat, dengan harga paling masuk akal. Abaikan soal tempat yang kurang nyaman, kurang enak dilihat, apalagi sampe mau tidur-tiduran di depan toko. Enggak cocok buat kamu yang jijik-jijikan ketika kulineran.
Oh ya, satu lagi yang harus disiapkan ketika nangkring di kedai ini. Siapkan recehan dengan jumlah yang agak banyak, karena tempat ini selain menjadi bengkel, merangkap juga sebagai tempat makan, pada malam hari juga menjadi tempat ajang audisi kontes olah suara, Anda akan berasa menjadi Ahmad Dhani, Anggun dan mas Anang dalam satu malam. Setiap menitnya akan ada lantunan lagu a la anak jalanan yang akan menemani. Ritual wajib kami, suara jelek dikasih 500 perak, sedang-sedang saja seribu, dalam taraf bagus banget dan seharusnya itu pengamen enggak layak lagi untuk nyanyi di pinggir jalan, kita kasih lima ribu. Makanya kemana-mana saya suka gembol-gembol recehan di dalam tas, hehe.
Terakhir, ketika kamu ke Jakarta. Jangan lupa untuk merasa bahagia. Itu penting. Selamat liburan, brok!