Analisis ini tentunya bukan berdasarkan tingkat kepakaran layaknya analis marketing, hanya berdasarkan pengalaman pribadi yang sebenarnya juga sudah terjadi di sekitar 7 tahun yang lalu.
2010, saat itu saya masih menyandang status sebagai mahasiswa. Bukan tipe mahasiswa yang tiap malam minggu ke kafe, atau makan siang dengan lauk super mewah, warteg adalah sahabat baik, usus dan orek tempe adalah hasil kolaborasi terbaik kami selama kami bersahabat di siang hari.
Di tahun kedua saya kuliah, rasanya uang jajan yang diberikan mamah rasanya tak pernah cukup, bukan tidak mau bersyukur tapi memang beneran enggak cukup, jajan harian biasanya sudah habis untuk minum bensin si jagoan supra, bukan Toyota ya tapi Honda. Apalagi si jagoan yang sampai sekarang ini masih bertahan, saya ajak mengarungi Jakarta hingga Ciputat setiap harinya. Mau enggak mau, saya harus cari tambahan uang jajan.
Singkat cerita, saya tidak pernah ingat persis mengapa saya bisa mengetahui sebuah lokasi tempat berkumpulnya para produsen sepatu di Cikupa, Tangerang sana.
Anda pasti tahu Taman Puring? Buat yang sering berbelanja sepatu, Taman Puring atau yang biasa disingkat TP adalah "surga"nya orang yang hunting sepatu dengan harga yang miring. Tapi jangan berharap dengan jaminan ada sepatu original di tempat ini, hampir 80% sepatu di pasar ini memang KW, alias palsu. Nah, hampir pasti mayoritas para pedagang di TP ini sudah pasti belanja semua sepatu di Cikupa. Harganya benar-benar super duper murah jika Anda beli di Cikupa, apalagi dalam jumlah besar. Karena di Cikupa ini memang benar-benar dari produsen sepatu langsung.
Lazimnya, sebuah transaksi itu terjadinya karena ada tiga pelaku. Ada produsen selaku pembuat produk, distributor sebagai perpajangan tangan dari produsen, dan pada akhirnya jatuh ke pada konsumen setelah ada kesepakatan antara konsumen dan distributor. Seharusnya dari dulu memang berjalan seperti itu.
Nah, pada saat itu. Saya memposisikan diri saya sebagai distributor bersaingan dengan para pedagang TP yang juga berada di posisi yang sama. Dulu saya rela-rela berangkat ke Cikupa setelah Subuh, memakan waktu perjalanan hampir dua jam hanya agar bisa datang lebih awal, karena jika telat produk-produk yang memiliki kualitas bagus akan disikat habis oleh pedagang TP, dana mereka tentunya jauh lebih besar dari saya, sedangkan saya hanya bisa transaksi maksimal sekitar 2 lusin.
Persaingan dimulai dari sini, ketika pedagang TP harus menjajakan jualannya di kios yang mereka sewa. Saya menjualnya lewat pasar online, gratis tentu biaya kiosnya. Ketika pedagang TP menjual sepatu di harga 175 ribu, saya menjualnya jauh lebih murah, dan selalu saya lakukan seperti itu, survey sekaligus investigasi harga langsung ke TP menjadi kebiasaan saya sebelum saya publish produk di online. Tujuan saya pada saat itu ya sebenarnya agar produk lebih laku tentunya, mengambil untung lebih sedikit enggak apa-apa, saya juga tidak terbebani dengan biaya sewa kios.
Di tahun 2010, belum banyak pedagang yang menjajakan barangnya lewat online, ketika ada satu produk yang lebih murah dari harga toko offline, otomatis barang tersebut akan lebih cepat laku. Dan terbukti, walaupun dalam jumlah sedikit, semua produk yang saya beli habis hanya dalam hitungan hari. Target saya dengan niat "menghabisi nyawa" para pedagang TP sebagai kompetitor terbukti cukup sukses.
Satu tahun pertama berjalan saya sebagai pedagang online diiringi cerita-cerita manis, semua dagangan yang saya beli di Cikupa benar-benar tidak pernah tersisa. Laku. Dengan klaim subjektif kira-kira saya, Taman Puring mulai ditinggalkan konsumen, bukan hanya karena saya seorang, tapi juga beberapa orang melakukan hal yang sama seperti saya, menjadi pedagang dadakan.
Sampai pada akhirnya cerita manisnya berubah menjadi kekhawatiran. Pihak yang berperan sebagai produsen yang sudah menjadi langganan saya selama ini pada akhirnya turun pentas juga. Ikutan DAGANG! Online pula, di mana area saya saat berperan menjadi distributor. Tahu apa yang dijajakan di toko onlinenya? Barang yang sama persis apa yang saya jual, dengan tapi. Harganya yang jauh lebih murah, harga yang sama persis dengan harga yang saya beli.
Pada saat itu ya saya hanya bisa prediksi, ketika saya berhasil mengalahkan pedagang TP. Pada akhirnya saya hanya bisa pasrah karena kompetitor yang saya harus hadapi kali ini adalah pihak yang paling vital, pemegang kendali dari semua aktivitas dagang online saya, karena produsen lah yang bisa mengontrol harga.
Saya sempat berdiskusi dengan meminta produsen tersebut menetapkan harga yang sama jika ingin berdagang di online, sama seperti harga saya cantumkan. Diskusi alot, lagipula juga siapa saya yang hanya belanja dalam hitungan kecil. Satu tahun kemudian ya pada akhirnya barang yang sudah saya stock akhirnya dengan susah payah saya obral habis-habisan. Kelar sudah cerita saya menjadi pedagang dadakan.
Melihat fenomena yang saya pernah alami bertahun-tahun lalu, mengingatkan saya dengan fenomena mal-mal yang semakin sepi pengunjung. Sebenarnya bukan sepi, tapi kini konsumen lebih berpusat ke mal yang punya penawaran lebih menarik dan tempat yang enak buat nongkrong, selebihnya belanja saya pastikan kalau bukan karena butuh banget, pasti karena ada diskon. Makanya mal-mal yang tidak berinovasi sudah pasti akan ditinggalkan pengunjung.
Ketika ada yang memberikan pendapat transaksi jual beli online menggerus hasrat orang untuk belanja di mal, tentu ada benarnya. Saya beri contoh, ketika pengunjung coba bertanya-tanya harga sebuah produk di mal, selanjutnya apa yang dilakukan? Biasanya mereka melakukan ini "Coba cek di online, lebih murah ga?",ketika ada model dan harga sudah cocok di mal, ternyata ukurannya tidak tersedia apa yang dilakukan? Mereka pasti "coba cek online, ukurannya ada apa enggak? yang penting kan udah tahu bahannya langsung ini di mal".Hal ini pasti disadari betul para pedagang-pedagang yang ada di mal ini. Pasti selalu ada saja calon pembeli yang tiba-tiba keluar setelah tanya-tanya harga.
Produsen ikutan dagang online
Saya meyakini, hal ini juga terjadi karena pada umumnya sekarang semua produsen ikutan berdagang produknya juga melalui online, silakan Anda cek saja setiap website produk favorit Anda, pasti akan selalu ada store yang menyediakan produk mereka dengan harga yang sudah tercantum jelas tanpa tanya-tanya SPG, cari tahu ukuran yang tersedia, hingga foto yang menjanjikan.
Saya meyakini, hal ini juga terjadi karena pada umumnya sekarang semua produsen ikutan berdagang produknya juga melalui online, silakan Anda cek saja setiap website produk favorit Anda, pasti akan selalu ada store yang menyediakan produk mereka dengan harga yang sudah tercantum jelas tanpa tanya-tanya SPG, cari tahu ukuran yang tersedia, hingga foto yang menjanjikan.
Saya ambil contoh sebuah produk yang hampir pasti ada di mal, Gi*rdano. Anda sudah pasti tahu seperti apa kualitasnya, Anda sudah pasti tahu seperti apa bahan-bahan yang biasa dijajakan produk ini. Jika Anda mengaksesnya lewat online, Anda juga bisa membelinya langsung. Hal inilah yang sedikit demi sedikit menggerus kebiasaan orang untuk berangkat ke mal hanya untuk beli barang ini. Lewat online juga bisa kok, ngapain harus ke mal, istilahnya seperti itu.
Perbedaannya, mereka tetap menentukan harga sesuai dengan harga yang dijajakan mal. Karena mereka sendiri pasti paham, jika menentukan harga yang lebih murah otomatis orang akan berpindah langsung ke toko onlinenya. Sedangkan yang di mal pada umumnya toko dibangun dengan biaya sewa yang tidak murah, perlu effort lebih besar, apalagi jika toko tersebut menganut sistem franchise, jika menentukan harga jauh lebih murah di online, sudah pasti produsennya bakalan diprotes massal para investornya.
Tapi balik lagi dengan kendala apabila di mal tidak tersedia ukuran, atau model yang diincar ternyata tidak ada. Di toko online akan selalu ada, jelas karena mereka produsennya. Akhirnya secara tidak langsung orang akan lebih memilih untuk belanja di online saja, ke mal cuma cek barang sampai cuma cari hiburan di waktu senggang.
Saya yakin apa yang terjadi di mal saat ini juga akan terjadi seperti apa yang terjadi di Taman Puring. Orang akan bergerak untuk mencari ketersediaan barang yang paling lengkap, hingga harga yang paling murah, beda harga hanya 5 ribu pun bisa memiliki pengaruh yang luar biasa buat konsumen.
Sama seperti Taman Puring, kini mal-mal hanya menaruh harapannya pada konsumen yang masih keukeh belanja harus langsung, konsumen yang masih takut belanja online, atau konsumen yang tidak paham cara bertransaksi secara online. Selebihnya semua sudah beralih untuk belanja hanya lewat HP, sortir harga paling murah!
Pada akhirnya produsen yang saya anggap sebagai pemegang kendali harga sebuah produk, ke depannya mungkin akan menarik tokonya di mal-mal yang sudah semakin sepi, atau mereka akan membangun toko besarnya sendiri tanpa harus membayar biaya sewa lagi. Dan akhirnya para pengelola mal ini akhirnya pasrah, karena faktor vitalnya menarik diri. Mal hanya punya pilihan, berinovasi atau Mati sekalian.
Produsen zaman now, saya bisa bilang telah menggantikan posisi distributor. Atau mungkin menghapusnya?
Mungkin Begitu.
No comments:
Post a Comment