Alasan Mereka yang Gagal Membunuh Avanza

Foto: AutobildBukan sombong. Untuk keseharian saat beraktivitas, saya sering berganti-ganti mobil, tergantung mood saja.Kadang saya menggunakan Kijang Kapsul LGX lansiran tahun 1999 yang masih kencang hingga saat ini dengan dorongan mesin 1.800cc. Trek lurus di dalam tol 130 KM/jam bukanlah hal yang sulit untuk dicapai. Jika saya bosan dengan kemacetan, kadang Suzuki Splash jadi mobil paling favorit untuk ugal-ugalan di jalan. Atau mungkin Suzuki Ertiga bisa jadi alternatif selanjutnya apabila saya ingin membawa angkutan lebih banyak, tapi bisa lebih irit dibandingkan menggunakan Kijang LGX. Bukan tidak punya uang, hanya ingin sedikit pamer saja mobilnya lebih baru. Pilihan terakhir saya kadang juga gunakan kembarannya Avanza, hanya karena efisiensi gaji ketika semakin menipis. Tanggal 10 sudah koma.
Untungnya saya bukan seperti Kasino di film warkop. Mobilnya boleh ganti-ganti, tapi ternyata punya pelanggannya di bengkel. Sekali lagi bukan, saya sedikit lebih beruntung dari Kasino, empat mobil yang sudah saya sebutkan di atas memang bukan punya pelanggannya saya. Tapi semuanya saya pinjam dari mertua dan kakak-kakak saya. Pinjam yang penting gaya.
Lalu apa mobil saya? ya jelas. Kelas karyawan yang berharap gaji tidak telat sudah Alhamdulillah seperti saya ini, tidak akan sanggup mencicil mobil mau model apapun juga, salesman beserta cicilan mobil LCGC pun rasanya seakan berbisik "ayo bos beli boss, ga papa enggak makan, yang penting gaya bos".Saya ya jelas milih beli makanan dibandingkan beli mobil. Hukum alamnya manusia. Tapi kalo mau beli mobil, saya maunya Subaru Impreza WRX.
Setidaknya ini bisa menambah valueobjektivitas saya ketika membuat artikel ini. Saya tidak berafiliasi dengan brand apapun, saya tidak mendukung Avanza sekalipun, walaupun saya sering menggunakan kembarannya. Saya pun tidak bisa menjamin pembahasan ini akurat, karena hanya berdasarkan asumsi pribadi semata, hasil obrolan di bengkel sembari menunggu ganti oli.
***
Bulan lalu, gerombolan tiga berlian memperkenalkan jagoan barunya di kelas yang jarang mereka ikuti, MPV. Lama sekali perkenalannya. Karena sebenarnya versi konsepnya sudah dikenalkan dari tahun 2016. Antusiasmenya lumayan besar, karena pabrikan tiga berlian memang tidak pernah main-main ketika menawarkan sebuah visual dari produk mereka. Enggak ada yang jelek istilahnya, long-last. Disodorkan Lancer Evolution versi lama pun semua orang juga pasti berebut.
Yang selalu digembor-gemborkan, varian terbaru ini jadi harapan yang akan "membunuh" geng Avanza. Sang penguasa jalanan, yang ketika disalip ketemu lagi di depan. Optimis sah-sah saja, tapi "membunuh" penguasa itu lain soal. Achilles boleh saja membunuh pangeran Hector, tapi untuk menghancurkan bangsa Troy, Achilles perlu menggunakan strategi dan tipu muslihat, pada akhirnya Achilles mati. Sama halnya MPV Mitsubishi yang juga belum diberikan nama, secara kekuatan (fitur) memang jauh mengungguli dibandingkan Avanza, tapi "membunuhnya" ya belum tentu. Terlalu ambisius malah ujungnya bisa mati lebih cepat.
Avanza terlahir awalnya berada di segmentasi entry level. Segmentasi orang yang baru pertama kali beli mobil baru. Ketika ditanya mau beli mobil apa? Jawabannya kalo bukan Avanza ya Xenia, karena pada saat itu si kembar ini memposisikan dirinya sebagai mobil yang paling murah, yang saat ini posisinya telah terganti oleh gerombolan mobil LCGC. AvXen (singkatan dari Avanza Xenia) terlahir di tahun 2004, bukan lagi waktu yang sebentar untuk sebuah produk otomotif, artinya produk ini bukan lagi menancapkan kuku lagi tapi sudah lebih menyemen kakinya dengan jalanan di dunia otomotif.
Pembeli entry level didominasi sebagai pengguna yang paling awam soal mobil. Rata-rata memang tidak mengerti seluk beluk soal otomotif, bahkan mungkin membuka kap mesin saja pun saya yakin akan mengalami kesulitan. Jangan jauh-jauh menawarkan segala macam fitur canggih, mirror auto-retractable, AC dengan climate control, airbag atau spion yang diatur elektrik, pembeli pemula tidak akan memahami hal ini dan mengetahui seberapa urgensi penggunaanya. Bagi mereka yang penting mobil murah, sparepart tersedia dengan mudah, ada AC biar adem itu sudah lebih dari cukup, berkendara tanpa panas sudah jauh mengangkat tingkat "tajir" seseorang, punya mobil sudah bisa dibilang sukses secara material. AvXen dahulu mulai populer berkat faktor tersebut.
Sekarang posisinya sudah digantikan LCGC, tetapi lucunya stereotip yang muncul sekarang adalah AvXen naik kelas. Kalau punya uang sedikit belilah LCGC, punya lebih sedikit belilah AvXen. Pesan berantai dari mulut ke mulut, ada yang bilang karena sparepartnya mudah lah, ada dimana-mana, ya jelas mudah karena eksistensinya sudah lama di Indonesia. Banyak yang bilang karena harganya murah, padahal kompetitornya pun menawarkan harga yang juga tak jauh beda. Semua memang sudah terbentuk dari zamannya Kijang, mau beli mobil keluarga ya Kijang. Dan berjalan hingga saat ini.
Saya akan memaparkan sedikit, stereotip apa yang sudah terbentuk sehingga deretan penantang AvXen yang berniat merusak dominasinya, justru lesu, bahkan kalah sebelum sempat bertarung. Tenang, pembahasannya lagi-lagi bukan karena tingkat kepakaran, hanya obrolan kopi sore sembari nongkrong di bengkel. Jadi seratus persen boleh tidak percaya.
Nissan Grand Livina
Pabrikan yang sama-sama dari Jepang ini menjadi penantang paling pertama untuk merusak dominasi Avanza, tapi pendapat pada saat awal kemunculannya adalah modelnya jelek, lekukan body banyak yang bilang terlalu jadul, yang jadi pertimbangan orang ground cleareance lebih pendek, takut mentok. Padahal city car sebenarnya tak masalah jika ground cleareance pendek, toh hanya berjalan di aspal, enggak mungkin dibuat off-road, tapi pada kenyataannya orang enggan memilih mobilnya pendek.
Yang paling berat adalah harganya yang memang jauh dengan AvXen, dibanderol 200jutaan lebih jelas mau melawan pun akan sulit. Pada akhirnya orang juga banyak yang beranggapan, harga beli baru mahal, dijual kembalinya murah. Dan sekarang memang terbukti anggapan orang tersebut. Padahal NGL sudah melakukan facelift yang menurut saya sangat bagus desainnya, tapi karena kepercayaan orang itu tadi penjualannya tetap mengecewakan.
Suzuki Ertiga dan APV
Buat orang yang suka nge-bengkel, Suzuki menjadi merk yang sebenarnya cukup populer. Alasannya karena sparepartnya juga cukup mudah didapatkan, apalagi soal sparepart mesin bisa subtitusi ke saudaranya asal satu kode mesin. Suzuki Ertiga pada saat itu memang berhasil merusak dominasi Avanza, terbukti di jalanan saat ini Ertiga tak kalah banyak beredar di jalan. Data dari Gaikindo pada tahun pertama penjualannya mencapai 63.318, nilai ini sudah cukup baik untuk "nyolek"Avanza, yang pada tahun tersebut juga masih digdaya karena laku lebih 200 ribu unit. Tahun 2017 angkanya drop, hanya laku kurang dari 3000 unit.
Soal sparepart memang baik, tapi banyak stereotip yang muncul Ertiga lebih sempit dari Avanza apalagi di bagian seat paling belakang. Tapi secara luas kabin yang memang cukup timpang dibandingkan Avanza. Mobil terluas yang dimiliki Suzuki ya hanya Carry dan APV, tapi karena modelnya yang macem sabun, banyak yang tidak suka modelnya. Padahal APV terbaru untuk penumpang sudah captain seat,jok ala-ala mobil Alphard yang nyamannya luar biasa. Tapi karena APV dicap sebagai pengganti Carry, kelasnya dianggap kelas bawah.
Mazda Ertiga? Hahaha. | Foto: Mazda.co.id
Oh iya, mungkin tidak banyak yang tahu sebenarnya Ertiga memiliki kembaran yang juga beredar di Indonesia tapi beda pabrikan. Mazda VX-1. Tapi rasanya malas juga membahas produk ini, ada yang beli pun sudah bagus. Ertiga saja semakin mengecewakan, apalagi yang ini. Padahal VX-1 menawarkan fitur yang jauh lebih berkelas dibandingkan Ertiga. Tapi penjualannya tetap tak terlihat. Bahkan Anda sendiri mungkin tidak tahu ada produk ini?
Chevrolet Spin
Aaaahh, membahas Spin rasanya kurang hormat. Kehidupannya tragis, produk ini jadi penantang Avanza yang "mati" paling cepat, bahkan sebelum mengeluarkan pedangnya. Kompasiana pernah ikut review mobil ini, sumpah mobil ini enak. Tapi, Chevy mengorbankan identitasnya sebagai mobil Amerika. Chevy itu memang lebih cocok mobil Big SUV, Double Cabin semuanya sangaaaaar. Karena konsumen Indonesia tidak terbiasa dengan mobil Amerika, lagi-lagi balik ke soal ketersediaan sparepart,tidak ada yang mau mengorbankan uangnya untuk membeli produk yang ke depannya belum tahu masa depannya akan panjang atau tidak. Terbukti mati, kan.
Honda Mobilio
Supir taaaaaxxxxiii!
Cemoohan ini jadi makanan sehari-hari para pengguna Mobilio, semenjak unitnya dibeli oleh Blue Bird citra Mobilio turun drastis, bahkan sempat ada gerakan beramai-ramai jual Mobilio. Padahal AvXen di luar Jakarta pun banyak yang digunakan sebagai unit taksi. Tapi karena efeknya nasional citranya lebih cepat turun, penjualannya memang masih besar, di tahun 2017 mengalahkan Xenia. Tapi, yang beli buat taksi. Haha.
Kasus ini sebenarnya sama seperti Toyota Vios yang mendadak citranya sebagai mobil murah setelah digunakan Blue Bird, padahal yang digunakan untuk Taksi bukan Vios tetapi Limo, yang buka jendelanya aja mesti ngengkol.Yang paling mengenaskan sekarang, kalau kalian masih mau membeli Vios atau Mobilio bekas, pertanyaan pertama pasti "Bekas taksi enggak ya?".
Siapa orang yang mau menghabiskan uang ratusan juta lalu dicap sebagai mobil taksi. Derajatnya turun mah istilahnya.
***
Apalagi ya penantangnya? Saya sampai lupa siapa saja yang sibuk menantang Avanza ini, pada akhirnya lesu-lesu saja.
Tapi, di tahun 2017 ini jadi semakin menarik. Seakan tidak akan pernah berhenti untuk merecoki Avanza yang tak pernah lesu, ada dua pabrikan yang menurut saya paling serius dari soal persiapan. Menggoda dengan segudang fitur yang tak umumnya di kelas LMPV, menawarkan harga yang benar-benar head to head, bahkan menawarkan harga yang jauh lebih murah. Wuling Confero S dan MPV Mitsubishi yang sudah saya sebutkan di atas. Dua varian ini yang memang cukup menggoda orang untuk beralih dari Avanza.
Wuling Confero S
Wuling Confero S | Photo: otomotifmagz.com
Mmmmmmhhh.Buat saya pribadi, desainnya menarik. Cantik, gagah sekaligus elegan. Eiitsss. Tapi apakah Anda tahu Wuling ini pabrikan yang berasal dari mana? CHINA!
Haha, bagi sebagian orang mungkin langsung mengernyitkan dahi setelah mendengar kata China, karena pada umumnya orang tak terbiasa dengan barang apapun yang berasal dari china, hingga saat ini masih banyak yang menganggap produk china itu buruk kualitasnya, KAWE, palsu, murahan, dan segala macam keburukan yang membentuk stereotip terhadap semua barang dari china. Ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi global. Bahkan jokes yang selalu dilempar netizen dunia jika ada barang mahal yang rusak, pasti selalu disebut "Made in China".
Sebenarnya citra produk China ini semakin baik berkat kemunculan deretan smartphone dan produk-produk elektronik dari Xiaomi yang langsung merusak dominasi semua merk elektronik dunia, harga super murah fiturnya luar biasa lengkap. Tapi, lagi-lagi Wuling Confero S ini bukan handphone yang harganya hanya 2-4jutaan, tapi ratusan juta. Semua pembeli pemula pasti akan berpikir-pikir ulang untuk menghabiskan uangnya, untuk menguji coba barang yang baru masuk di Indonesia. Pertanyaannya pasti masih soal durability, detail, dan tentunya ketersediaan sparepart. Tidak ada orang yang mau menghabiskan uang ratusan juta lalu produknya jadi "bangkai" karena tidak bisa digunakan kembali.
Ini yang menjadi PR besar Wuling untuk menumbuhkan kepercayaan konsumen pemula Indonesia yang tidak peduli soal fitur. Pembeli pemula tidak akan mau tahu jika ternyata Wuling Confero S ini punya fitur yang dikeluarkan sangat jor-joran untuk mobil yang dihargai murah banget di kelasnya. Dari rem cakram di bagian belakang, head unit touchscreen, captain seat, colokan USB sampai jok belakang, lampu LED, ABS. Semua fitur ini tidak akan kalian temukan di Avanza yang super duper pelit soal fitur.
Tahun pertama sudah seharusnya Wuling tidak harus berharap banyak, karena yang dibutuhkan pertama bukan harus terlalu ambisi melibas Avanza, kepercayaan orang Indonesia yang lebih dahulu ditumbuhkan. Karena mereka juga harus belajar melihat eksistensi Proton yang mengenaskan di Indonesia, padahal fitur yang ditawarkan juga luar biasa lengkap. Good Luck, Confero S!
Mitsubishi Expander?
Mitsubishi MPV | Mitsubishi
Promosi gencar, menahan-nahan "ejakulasi" para pecinta otomotif --mesum banget ya analoginya.Untuk tes ombaknya, model ini sudah dimunculkan versi konsepnya, feedbacknya luar biasa. Banyak yang tidak sabar dengan kemunculannya.
Secara image sudah terbentuk dengan baik, kereeeennn Pajero Sport banget versi mini. Begitulah menurut para pecinta otomotif pas-pasan yang enggak punya duit buat beli Pajero Sport aslinya. Karena secara ground cleareance memang lebih tinggi dari Avanza. Tampilannya yang jelas banyak yang bilang jauh lebih futuristik dari Avanza. Saya bilang juga iya. MPV ini sudah lebih mirip SUV. Lakik banget.
Ditambah dengan segala macam fitur mewah yang jadi ciri khas Mitsubishi yang tak pernah tanggung soal ini. Intinya enggak bakal ditemukan juga di Avanza. Stereotip dari kekurangan dari Mitsubishi adalah sparepart muaaahhaaaalll.Itu yang sering disebut orang-orang. Saya bilang ini kurang fair jika langsung menyebut sparepartnya mahal, karena Mitsubishi sendiri memang tidak pernah fokus meluncurkan mobil versi murah, mungkin Mitsubishi Kuda atau Colt, lah tapi itu mah beda soal.
Pajero Sport, Strada Triton, Delica, Grandis, Mirage terlahir bukan dengan harga murah. Masa iya Pajero Sport sparepartnya seharga Avanza, ya enggak mungkin juga. Expander diluncurkan dengan harga yang benar-benar di luar kebiasaan Mitsubishi, prosesnya masih panjang. Seandainya nanti produknya laku, bukan tidak mungkin harga sparepartnya semakin murah karena banyak permintaan. Hukum ekonomi. Persoalan Mitsubishi memang masih berkutat soal harga sparepart, mudah-mudahan ada solusi yang jitu untuk siap "membunuh" Avanza. Kalau enggak, hilang sudah harapan mendorong Toyota agar tidak pelit lagi soal fitur. Good Luck juga, Expander!
***
Duh, makin pusing saya. Enggak ada yang bisa kebeli. Cicilan motor baru lunas, BPKB langsung digade pula :(

No comments:

Post a Comment

Tiktok