"Ngakunya traveler, tapi padahal jalan-jalannya ke Puncak doang".
Kalimat ini mungkin yang bisa menggambarkan, betapa saya merasa paling tau soal lika-liku ART (Asisten Rumah Tangga, selanjutnya kayaknya sama mau sebut "mbak" aja), padahal yang saya selami masih seputaran Cisarua. Paling keren ke Taman Safari.
Ketika usaha saya mencari ART dengan puluhan kandidat yang ditawarkan mau dari jalur apapun, ekspresi saya cuma bisa "Heh, hoh, hmmm.. kok gitu ya?". Sekumpulan wawancara singkat dengan para calon ART yang membuka mata dan wawasan saya soal kondisi ekonomi, pendidikan yang sebenarnya terjadi di Indonesia.
Sudah hampir setengah tahun, kita akhirnya hidup tanpa bantuan mbak, walaupun 2 tahun sebelumnya kayaknya kita bisa-bisa aja hidup tanpa mbak. Tapi selama 2 tahun ini yang sepertinya menguatkan daya tingkat "mager" kita buat beberes rumah.
Tahu apa alasan mbak resign? Mau jadi seleb Tiktok katanya. Ajaib ya.
Tapi saya pun tak mau menghalangi apa mimpi setiap orang, kita ga tahu rezeki mana yang mungkin mereka akan dapatkan. Lagipula ya enggak mungkin saya halangi, orang pulang kampung trus enggak balik, mau gimana lagi saya.
Berkehidupan tanpa mbak pada awalnya kaget, tapi langsung mudah beradaptasi sebenarnya, karena kebetulan kita berdua masih WFH. Bisa beberes rumah, main sama Naya sambil concall pun selo sih. Dihitung-hitung juga tanpa nge-gaji mbak. Capek beresin rumah budget-nya bisa buat "senang-senang", jajan sushi apa jalan kemana cukup lah.
Sampai pada bulan ke-6 yang mengharuskan mami-nya WFO 100%. Wadeh-wadeh...
Kendala-kendala akhirnya terasa ketika saya terlalu padat untuk concall, kerjaan enggak kelar-kelar. Dampaknya berasa. Rumah jarang dipel, cucian numpuk, gosokan bikin pegel badan, Naya jadi enggak punya waktu main, kalo saya concall akhirnya dia cuma sibuk mainan di dalam rumah atau nonton YouTube di TV. Tingkat stressnya merembet kemana-mana.
Di titik inilah, sepertinya kita butuh mbak lagi untuk mengurangi stress, yang ternyata pada proses pencarian kandidat justru bikin saya makin nambah stress dan kebingungan.
---
Cerita saya awali dengan melakukan penyebaran info melalui media sosial yang saya punya. "DICARI ART BLA.. BLA..BLA", bukannya dapat rekomendasi saya malah mendapatkan curhatan yang sama dari rekan-rekan saya. Mbaknya cabut setelah dapat THR lebaran, katanya memang sudah siklusnya, gelombang mbak pada enggak balik di masa-masa setelah lebaran gini.
Pada akhirnya kita dapat rekomendasi pertama, sudah pengalaman pernah jadi TKI di Arab. Wuih mantab, sampai kelegaan saya sirna setelah proses negosiasi gaji. Minta standar UMR DKI, bisa-bisa saya yang enggak makan kalo segitu budgetnya. Skip dong.
Karena tidak kunjung mendapatkan dengan jalur sendiri akhirnya kita coba dengan penyalur yang ada di IG, followers banyak, wuih terpercaya pasti ini. Sampai akhirnya juga saya harus menelan ludah berkali-kali, masa iya minta fee-nya lebih mahal dari gaji mbak yang saya ekspektasi. Tanpa jaminan apapun pula, nyalo banget hidupnya.
Lalu saya coba lagi, katanya di Facebook ada semacam grup khusus ART yang mencari lowongan langsung majikan.
Grup ini yang dugaan saya kayanya peluang terbesar saya untuk mendapatkan mbak yang cocok sesuai perkiraan, ternyata grup ini malah membawa saya untuk merenungkan diri, overthinking, muhasabah, istighfar, bertapa di goa sampai mau ngomong kasar.
Saya bisa mendapatkan refleksi kehidupan bermasyarakat Indonesia yang sebenarnya dalam format wawancara.
Minta Rumah Gedongan
Calon pertama ini yang buat saya ngakak kebingungan sambil langsung terhina secara langsung lahir dan batin. Bukannya saya yang wawancara, malah saya yang diwawancara balik. Awalnya aman-aman aja, sampai saya ditanya "Rumahnya di komplek apa di kampung, Pak?", dalam hati "Anjir, maksudnya apa ini bocah nanya rumah di kategori apa".
Setelah saya jawab bukan di perumahan, jawabannya jadi terbata-bata, dan bilang maunya di perumahan besar, dan sebelumnya bilang kerja di BSD komplek mahal.
Kan dalam hati kesel ya, "Nih bocah polos apa mau menghina gw anjir banget dah, emang dia kira semua orang kaya Raffi Ahmad apa jadi sultan Andarra, yang bisa rekrut ART cuma orang macem begitu doang".
Langsung di-cut aja deh, buang-buang waktu aja. Kita ke kandidat selanjutnya.
Primitif
Terlalu kasar enggak ya, kata ini. Tapi kalo search di Wiki sih begini.
Ada 6-8 kandidat saya lupa persisnya, mempunyai satu kesamaan ini. Yang membuat saya mau menyampaikan kritik yang sangat-sangat mbacot khususnya ke Gubernur Banten sampai ke Presiden. Tapi takut tukang bakso bawa walkie talkie mampir ke depan rumah.
Mereka berasal dari daerah yang sama di Pandeglang, yang saya telusuri di desa terpencil di area ujung kulon.
Mereka belum familiar dengan mesin cuci, dan alat setrika. Katanya kalo di kampung abis cuci dikucek langsung dilipat di bawah kasur. Jarang nyapu dan ngepel, "Rumah orang tua saya masih bentuk panggung, masih banyak babi hutan pak".
Heh, saya mau ngakak tapi kasian.
Wahai bapak Gubernur dan bapak Presiden. Ini loh, masih pulau Jawa masih ada warganya belum well-educated. Pikirannya yang di pusat melulu ya.
Tapi anehnya mereka punya WhatsApp, tapi ga bisa ditelpon, ga ada sinyal katanya. Trus saya yang kagok, wawancara kok pakai voice note. Haha.
Hal ini yang membuka mata saya, tak terlalu jauh dari Jakarta, kita masih punya sekumpulan masyarakat yang memiliki gap soal edukasi,ekonomi yang rentangnya sangat jauh.
Jalan "ninja" mereka memang harus ke "Jakarta" untuk memperbaiki taraf kehidupan mereka.
Tapi yang ini bikin sabar-sabar kalo merekrut mereka. Saya sudah pernah sekali. Apa yang bikin saya "Heh" lagi? Satu hari kerja dia sudah kebingungan bukan main, culture shock, langsung minta pulang.
Kebingungan menggunakannya mesin cuci, padahal mesin cuci saya yang model gembel dua tabung.
Yang paling kocak, pas diajarin setrika. Pas panas dicabut dong listriknya, takut kebakaran katanya.
Dan berbagai keheranan dia soal Wi-Fi kok bisa katanya bisa dipake trus tanpa beli pulsa. "Hey, bulanan gw yang bayar helloooowww". Wkwk.
Satu hari kebingungan dan kepanikan dia, bikin dia kekeh kayaknya enggak sanggup. Saya yang bingung mau apa, sudah memastikan dia enggak apa-apa belajar dulu. Tapi akhirnya membiarkan dia pulang lagi ke kampungnya. Hadeeeh...
Sampai saya iseng share di medsos soal pengalaman ini, selanjutnya saya kembali mendapatkan curhatan yang sangat emosional dari temen saya. Haha.
Haha, malesin ya ini cerita saya. Sama kok saya juga sampai males buat cari lagi dari yang semangat sampai lesu lagi.
Sampai saat ini pun saya belum cocok dengan kandidat yang masuk, enggak neko-neko kok saya kriterianya. Cuma bantu temenin main Naya, beberes rumah. Udah. Rumah juga enggak gedong kan, jadi harusnya juga enggak capek-capek amat buat bersihin. Bahkan mbak terakhir sudah dianggap kaya Adek sendiri sama kita, dibeliin macem-macem eh ya ga balik juga. Tapi ya 2 tahun kerja lumayan sih.
Syudah ya, segitu saja. Masih banyak sih sebenarnya cerita yang lain, cuma malas tambah bikin pening kepala.
Jika ada keluhan soal ART boleh coba komentar juga di bawah, nanti saya bantu, bantu ketawain sependeritaan sama saya. Hehe.
Oke.
No comments:
Post a Comment