Sebelum lanjut, kenalin dulu ya. 28 Agustus 2017 si cempluk
ini lahir. Sejak di dalam perut maminya, saya memang sudah berkomitmen untuk
tidak memberikan nama kebule-bulean kaya papinya, sepanjang hidup jadi bahan
bully, karena muka enggak sesuai dengan nama --Heeeh.
Dengan pertimbangan
matang dan tidak asal, saya beri nama Kanaya Maheswari. Saya mengambil nama
dari gabungan antara nama Indonesia dengan Jawa, yang artinya Bidadari cantik
yang menemukan jalan penghidupan yang tenteram, bahagia dan sempurna. Saya beri
nama ini biar si cempluk ini tahu jika nanti dewasa ia tahu asalnya dari
Indonesia dan turunan orang Jawa, jangan suka menghayal kaya papinya yang ngaku
turunan orang Jerman.
Jadi, ceritanya di bulan November ini si cempluk sudah
berusia menuju tiga bulan. Senangnya, dia sudah bisa diajak main, sudah bisa
mengenali warna-warna (paling seneng kalo diajak Papinya nonton bola, haha),
sudah bisa mengenali siapa Papi, Maminya.
Sedihnya, beranjak tiga bulan ini
juga jatah cuti bulanan Maminya yang ikutan habis. Rasanya ya campur aduk,
enggak tega ninggalin si cempluk ini ditinggal kerja. Malah sampe kepikiran
kalo saya aja deh yang resign, ngurusin anak. Tapi nanti masa ya keluarga ini
makan nasi aking terus, muehehe.
Solusi yang kita cari, akhirnya terpaksa ubek-ubek informasi
soal babysitter. Walaupun tetap juga bakalan dititip di rumah orang tua, karena
saya sendiri khawatir jika hanya ditinggal sendiri di rumah. Tau sendiri lah ya,
penculikan modusnya ajaib-ajaib.
Setelah sepanjang bulan saya coba cari yang
cocok, sampai sekarang masih juga belum ketemu yang pas. Ada yang murah banget,
tetangga yang kebetulan nganggur, eh akhirnya enggak jadi. Ada yang murah juga,
tapi ngeliat cara dan penampilannya kok jadi enggak yakin. Ada yang
professional banget, sudah pengalaman bahkan di luar negeri, tapi gaji yang
diminta malah ngalahin gaji saya, mumet.
Problem ini saya ceritakan ke ibu saya, dan jawabannya...
SeeeeeeeeeeeeeeeeeeeettttRewind kaset, flashback dulu.
Ada momen mengharukan setelah saya memutuskan untuk menikah.
Beberapa bulan setelah saya nikah, ibu saya rasanya seperti selalu kangen
dengan saya, tiap hari Whatsapp. Enggak biasanya sih, waktu masih tinggal
bareng orang tua ya enggak pernah manja-manjaan sampai kangen-kangenan, ya
sewajarnya anak cowo lah.
Setelah saya pikir-pikir dan sadari, oh ya wajar
kangen. Rumah memang beneran terasa sangat sepi sekarang. Kakak yang juga sudah
berkeluarga tinggal nun jauh di Bekasi, kalo mau jengukin cucunya harus
terpaksa mengarungi jalanan macem Padang Mashyar, enggak abis-abis. Kalau
Bekasi jadi merdeka, paspor orang tua saya mungkin bakalan sering dicap. Haha.
Saya yang juga sudah pindah rumah, jadi membuat rumah
semakin sepi. Dan adik saya yang masih kuliah, juga pulangnya jarang-jarang
karena banyak tugas. Lengkap sudah. Orang tua saya yang baru saja pensiun,
bingung apa yang harus dilakukan setiap hari. Kebun di belakang yang tadinya
cuma buat duduk, sekarang sudah disulap jadi kolam ikan, sampai jadi lokasi
urban farming saking enggak ada kerjaannya.
Dan, jawaban dari ibu saya setelah menceritakan problem tadi
adalah menerima dengan muka super sumringah dan saya belum pernah lihat
sepanjang hidup saya.
"Ngapain nyewa babysitter, Naya sama Mamah aja biar
Mamah ada yang ngajak mainan, nanti kalo Mamah Qosidahan bisa Mamah ajak"
Sesaat ibu saya bilang seperti itu, kok saya jadi ingat
betul ada salah satu artikel yang membahas fenomena ini. Ada salah satu orang
tua yang keberatan dititipkan cucunya, karena menganggap dirinya bukan
babysitter. Saya berulang kali bertanya apa benar ibu saya tidak keberatan.
Dalam artikel itu membahas fenomena keluarga muda yang selalu membebankan
masalah mengurus anak kepada orang tuanya, loh ya saya merasa tercolek, apa
jangan-jangan saya juga seperti itu. Apa jangan-jangan nanti tetangga juga
bakalan berpikir saya tipikal orang tua muda yang ogah ngurus anak. Ah,
pers***n dengan tetangga.
Saya bisa saja menitipkan si cempluk di daycare, sebuah
layanan yang memang khusus mengurus anak yang orang tuanya bekerja. Tapi,
lagi-lagi saya menimbang ulang sebuah sarkasme "Orang tuaku,
Babysitterku".
Kali ini pandangan yang berbeda dari artikel orang tua yang
keberatan dititipkan cucu, bedanya orang tua saya sangat senang jika harus
dititipkan anak saya. Bukan aji mumpung, tapi mirip-mirip lah seperti simbiosis
mutualisme. Saya berusaha menghibur orang tua saya yang kesepian ditinggal
anak-anaknya, sekarang dapat rezeki ditemani oleh cucunya. Hehe. Konsekuensinya
ya anggaran yang tadinya untuk membayar babysitter dialihkan saja untuk
kebutuhan orang tua saya saat ini, mudah kan.
Saya membuat artikel ini bukan mengajak orang tua muda untuk
berbondong-bondong untuk "Yuk, titipin anak di emak lu". Enggak bukan
itu. Tapi artikel ini bisa jadi klarifikasi yang mungkin bisa membuka pandangan
orang tua yang menolak dititipkan cucu, enggak semua orang tua seperti itu,
bahkan justru senang jika dititipkan cucu seperti orang tua saya, dan enggak
semua orang tua muda seperti saya, selalu melepaskan semua beban anak ke orang
tua.
Banyak orang yang mungkin mengganggap saya bisa memberikan
pandangan ini karena beruntung memiliki orang tua yang rela dititipkan,
walaupun ada konsekuensinya pula saya harus bolak-balik rumah setiap paginya
untuk menitipkan si cempluk ke rumah orang tua. Tapi ini cara saya dan istri
untuk menjaga komunikasi dan kehangatan keluarga kami. Walaupun akhirnya
sekarang malah jadi rebutan Eyang yang sana dan sini, semuanya mau dititipin si
cempluk. Yah mumet juga jaga perasaannya, tapi kita senang.
No comments:
Post a Comment