Koleksi Hj. Siti Hardiyanti Rukmana | Buku Pak Harto, The Untold Stories
Jika anda masih belum percaya jika kisah cinta indah yang sering muncul di serial-serial FTV, anda harus menyimak kembali lembaran-lembaran buku yang mengisahkan betapa romantis-nya pasangan Presiden kedua Indonesia Jenderal Besar HM. Soeharto dan Raden Ayu Siti Hartinah atau yang biasa disapa dengan Bu Tien.
Terlahir sebagai putri bangsawan jawa, Ibu Tien Soeharto adalah keturunan Mangkunegoro III. Jika mengingat kembali kisah pertemuan pasangan ini, Pak Harto yang berlatar belakang sebagai anak petani desa dan pada saat itu hanyalah seorang tentara berpangkat letkol, mereka berdua dipertemukan berkat perjodohan yang dilakukan Ibu Prawiro yang merupakan bibi sekaligus ibu angkat beliau. Pak Harto pada saat itu merasa kikuk dan merasa tak percaya diri, bagaimana seorang darah biru ditambah paras nan ayu dari bu Tien mau menerima pinangan pak Harto yang hanya seorang anak petani desa di Kemusuk.
Namun nasib berkata lain, bak serial FTV yang mempertemukan satpam ganteng dengan gadis cantik anak orang kaya. Kisah pak Harto dan Bu Tien tak jauh dari kisah indah yang hanya kita temui di FTV, keluarga Kandjeng Pangeran Harjo (KPH) Soemoharjomo, ayah dari Ibu Tien menerima tawaran dari keluarga Prawiro.
“Agak kikuk juga, sebab sudah lama saya tidak melihat Hartinah dan keragu-raguan masih ada pada saya, apakah dia akan benar-benar suka kepada saya,” tutur Pak Harto.
Bagaimana kita bisa membayangkan saat ini, seorang Jenderal Besar yang dulu dikenal sangat tegas saat pemimpin pasukan tentara Indonesia, ternyata saat bertemu seorang wanita, kikuk-nya luar biasa. Sejak saat itulah pak Harto sangat menyayangi wanita satu-satunya yang akan menemani-nya hingga akhir hayat. Kisah kesetiaan manis inilah yang membuat sang Jenderal sangat kehilangan saat bu Tien harus meninggalkan selamanya dunia nyata. Terlepas dari isu-isu janggal meninggalnya bu Tien yang diisukan tertembak peluru anaknya sendiri karena kasus pertengkaran Bambang dan Tommy bukan karena serangan jantung. Menurut hemat saya, Pak Harto sangat kehilangan sosok bu Tien, saya masih ingat ketika saat prosesi pemakaman bu Tien, ibu saya sempat heboh berteriak-teriak saat TVRI sempat merekam pak Harto yang terlihat terjatuh seperti pingsan saat prosesi pemakaman. Pak Harto yang dikenal sebagai sosok Jenderal yang tegas, gagah dan garang luluh semua ketika pasangan hidupnya harus menemui sang khalik terlebih dahulu, termasuk goyah-nya kepemimpinan dirinya selama 32 tahun untuk Indonesia.
Inilah mengapa pasangan romantis sang Jenderal Besar dan putri bangsawan jawa ini tetap bersanding di peristirahatan terkahir-nya di Astana Giri Bangun, tepat di bawah Astana Mangadeg, komplek pemakaman para penguasa Mangkunegaran, salah satu pecahan Kesultanan Mataram karena bu Tien yang masih keturunan Mangkunegoro III.
***
Agenda ziarah ke makam bu Tien, menjadi acara selanjutnya setelah kunjungan para karyawan dan pedagang TMII ke Ndalem Kalitan, sebagai ritual menjelang HUT TMII yang ke-40. Cerita sebelumnya dapat disimak di SINI.
Untuk tiba di Astana Giri Bangun, kamu harus mendaki terlebih dahulu beberapa anak tangga menuju Astana Giri Bangun, sebenarnya ada beberapa tukang ojek yang unik-nya didominasi wanita yang akan mengantar pengunjung hingga menuju gapura Astana Giri Bangun, karena saya yang termasuk kategori pengujung irit jadilah saya mendaki beberapa anak tangga yang ternyata lumayan bikin ngos-ngosan, yang ujung-ujungnya saya harus mengeluarkan uang lima ribu rupiah untuk membeli air mineral, padahal ongkos ojek juga lima ribu rupiah, Meeeeeh… Tapi tak apa setidaknya saya dapat melihat beberapa pedagang kaos yang cukup monoton karena rata-rata hanya menjual kaos dengan sablon pak Harto, yang paling sering ditemui kata-kata “Penak Jamanku toh”, Hahahaha.
Gapura yang menyambut pengunjung di Astana Giri Bangun | Foto: Kevinalegion
Jangan dikira kompleks pemakaman ini dapat dimasuki sesuka hati oleh pengunjung, karena untuk kelas pemakaman, kompleks ini cukup diawasi ketat para penjaga makam, sebelum memasuki kompleks ini pastikan anda sudah meminta izin terlebih dahulu. Beruntung karena saya nghintil karyawan TMII, saya jadi bebas keluar masuk komplek pemakaman ini.
Untuk kategori pemakaman saya sebenarnya cukup takjub, pertama kali takjub dengan pemakaman saya dulu cukup takjub saat prosesi pemakaman kakek saya di TMP Kalibata, saya berpikir TMP Kalibata kompleks pemakaman termewah pada saat ini, tetapi saat melihat peristirahatan terakhir keluarga bu Tien ini saya merubah pandangan saya karena kompleks ini sangat tertata rapi dan mewah dengan ukiran-ukiran khas solo. Mungkin juga karena keluarga bu Tien adalah keluarga bangsawan sudah pasti pemakaman-nya pun tak jauh suasana rumahnya semasa hidup, maka tak heran jika acara kali ini bisa juga disebut sebagai wisata ziarah.
Teras utama Argosari | Foto: Kevinalegion
Pembacaan doa dan surah Yassin di dalam Argosari | Foto: Kevinalegion
Seperti ziarah pada umumnya, membacakan surah Yassin menjadi ritual utama untuk mendoakan lima mendiang yang berada di Argosari, ruangan yang berbentuk rumah joglo dengan ukiran-ukiran khas surakarta memenuhi dinding Argosari. Dengan suasana khidmat seluruh peserta ziarah beserta jajaran direksi TMII disambut ketua pengurus makam sebagai penghormatan bu Tien yang menjadi pelopor berdirinya Taman Mini Indonesia Indah dan juga mengenang jasa besar beliau pada TMII. Acara dilanjutkan dengan penebaran bunga diatas lima pusara, berada di paling barat adalah makam Siti Hartini kakak dari bu Tien, di tengah terdapat makam pasangan Soemarharjomo (ayah dan ibu Tien), paling timur adalah makam Ibu Tien Soeharto dan tepat di sebelah barat makam Ibu Tien terdapat makam Jenderal Besar HM. Soeharto. Setelah penebaran bunga, perwakilan dari direksi TMII memberikan cinderamata untuk disimpan di Astana Giri Bangun sebagai ritual tahunan menyambut HUT TMII yang ke-40.
Penebaran bunga di pusara bu Tien Soeharto | Foto: Kevinalegion
Penebaran bunga di atas pusara Siti Hartini | Foto: Kevinalegion
***
Sesuai cerita di awal yang menjelaskan jika bu Tien ini adalah keturunan bangsawan surakarta, kompleks Astana Giri Bangun ini didirikan dibawah Astana Mangadeg, kompleks pemakaman para penguasa Mangkunegaran yang berada di ketinggian 750 mdpl. Sudah pasti harus mendaki kembali untuk tiba di Astana Mangadeg, karena tak lengkap rasanya jika sudah sampai Giri Bangun tak mengunjungi Mangadeg. Kali ini saya yang belum pernah ke pemakaman kerajaan, tentu agak sedikit bingung dan rada ngeri karena sepanjang perjalanan nampak beberapa ornamen-ornamen persis seperti film-film kolosal yang pernah saya tonton di TV, beruntung ada beberapa karyawan TMII yang hendak menengok ke atas, jadi ada temennya, gitu.
Dinding batu dengan ukiran | Foto: Kevinalegion
Gapura yang menyambut ke makam Pangeran Sambernyowo | Foto: Kevinalegion
Menurut beberapa informasi, untuk masuk ke lokasi ini sebenarnya hanya diperkenankan dikunjungi oleh para keturunan raja-raja Mangkunagaran. Beruntung beberapa rombongan TMII ini diperkenankan masuk oleh para penjaga makam, walaupun juga tak banyak yang mengunjungi tempat peristirahatan Raja Mangkunegara I atau Pangeran Sambernyowo dan lebih dikenal dengan nama Raden Mas Said yang memiliki kesaktian luar biasa saat melawan penjajah Belanda, ini juga alasannya mengapa Gubernur VOC memberikan julukan Pangeran Sambernyowo karena dalam setiap peperangan, selalu membawa maut musuh-musuhnya. Tapi kompleks makam ini sangat terawat dan tertata rapi oleh para penjaga makam.
Bagi masyarakat Solo yang ikut serta dalam ziarah ini, cerita-cerita kesaktian Pangeran Sambernyowo sangat melekat di otak mereka, Pangeran Sambernyowo menjadi tokoh penting ketika belanda memecah belah kerajaan mataram, selama 16 tahun Pangeran Sambernyowo berjuang untuk memukul mundur pasukan Belanda di negeri mataram. Namun, setelah Belanda mundur dan Raja dari kerajaan Mataram kosong, justru Pakubuwono III yang diangkat menjadi raja. Keputusan inilah yang akhirnya pecah menjadi kerajaan Surakarta dan Kerajaan Ngayogyakarta, serta keraton Mangkunegara yang dipegang langsung oleh Pangeran Sambernyowo yang dinobatkan sebagai Raja Mangkunegaran I, silakan baca cerita lengkapnya di Perjanjian Salatiga.
Pemakaman ini jugalah, sebelumnya menjadi tempat bertapa Pangeran Sambernyowo dan mendapatkan pusaka untuk mengusir penjajah Belanda di bumi Mataram.
Tak banyak tempat yang saya bisa eksplor disini karena keterbatasan waktu dan betapa luasnya lokasi yang berada di kaki gunung Lawu ini. Enggak kebayang bagaimana Pangeran Sambernyowo pada saat dahulu bisa menjelajahi lokasi yang sangat luas ini.
***
Terlepas dari permasalahan HAM yang ditimbulkan oleh Pak Harto, ia dapat dikatakan adalah orang yang dekat dengan keluarga. Dia juga memiliki sisi humanis, dan tentunya kita juga tidak bisa melupakan jasa beliau atas pembangunan di Indonesia. salam kenal ELmoE.info
ReplyDeleteIyah, di keluarga dan lingkungan dia sangat dicintai.
Delete