Jika ada yang bertanya mengapa sampai saat ini, saya masih ada di balik dashboard media warga ini selama lebih dari waktu 3 tahun. Hingga saat ini saya belum terpikirkan untuk menyiapkan apa jawaban yang paling tepat, jika jawaban yang diharapkan penanya adalah soal perjalanan karir saya. Walaupun jika dibandingkan dengan Kang Pepih, Nurul Uyuy dan Mas Iskandarjet saya belum apa-apanya, setidaknya saya yang juga masih bertahan di generasi tengah tim Kompasiana selama ini. Dan di waktu yang berjalan, rekan segenerasi satu persatu angkat kaki, meninggalkan tempat yang sekarang saya bisa sebut, sebagai "rumah".
Pada saat masuk di tim Kompas Cyber Media, sebenarnya saya bukan berada di tim Kompasiana. Di awal tahun saya ditempatkan sebagai pengelola forum yang dimiliki Kompas pada saat itu, alasan saya diterima sebagai salah satu pengelola forum ini saya prediksi hanya karena saya memaparkan pengalaman saya getol chit-chat di forum yang jika disebut mirip tempat orang buang hajat.
Ada ungkapan "orang pintar akan kalah dengan orang yang beruntung", saya yakin betul saya berada di salah satu golongan orang beruntung tersebut. Jika ada puluhan lulusan sarjana bersusah payah untuk mendapatkan pekerjaan dengan mengunjungi satu persatu job fair, ratusan kali, satu persatu mengunjungi kantor HRD. Saya lebih merasa sebagai orang yang paling beruntung dibandingkan menjadi orang yang pintar, karena hanya bermodalkan sering "nyampah" di forum, saya bisa mendapatkan satu tempat yang diperebutkan ratusan lulusan sarjana lainnya. Padahal saya sendiri pada saat itu benar-benar belum lulus dari kuliah saya, dengan sedikit akal-akalan a la Abu Nawas berhasil lah saya dianggap sebagai sarjana yang terlihat memiliki kompetensi. Walaupun pada akhirnya juga forum yang saya kelola ini akhirnya ditutup karena kurangnya antusiasme dan juga dukungan.
Ada salah satu senior yang ada di sini pun selalu berpesan ke pada saya pada saat itu, jika "rumah" ini bukan lah tempat yang tepat jika saya mengejar soal nominal gaji. Di sini adalah tempat untuk mengaplikasikan ilmu sekaligus tempat untuk memperkaya wawasan dan kemampuan. Tempat inilah yang paling tepat untuk disebut kampus dalam arti yang sesungguhnya bagi saya, kampus kehidupan, kuliah yang sekaligus juga dibayar setiap bulannya. Ada satu kalimat yang hingga sampai saat ini selalu terngiang di kepala saya adalah "Jika saya hanya terpacu soal berapa gajian bulan ini, sebaiknya mundur sekarang juga, tugas sesungguhnya perusahaan media adalah memberikan edukasi kepada masyarakat, memberikan pandangan yang benar, bukan untuk mengarahkan manusia untuk menjadi bodoh".
Bukan hanya itu sebenarnya alasan saya yang mungkin masih menguatkan saya untuk tetap bertahan, walaupun Kompasianer sepertinya juga paham sendiri bagaimana cerita "badai" yang selalu menerpa Kompasiana, bagaimana permasalahan teknis Kompasiana yang seakan menjadi cap yang selalu melekat di mata Kompasianer. Jika ada keluhan bahkan sampai ada kata cacian, rasanya seakan pada saat itu juga saya ingin keluar dari Kompasiana. Tapi lagi-lagi saya harus menengok kembali, kerabat di rumah dan lainnya masih terus berkutat dengan keluhan susahnya mencari kerja di Jakarta, saya kembali merasa sebagai orang yang paling beruntung di tengah belantara ibukota. Tapi ada juga sosok senior yang lebih dahulu mengurusi Kompasiana seperti Kang Pepih, Mas Iskandar dan Uyuy yang selalu menguatkan jika di balik dunia digital itu harus tahan banting dengan cacian. Dan juga, rasanya saya belum merasa terpuaskan dengan ilmu dan pengalaman yang saya sedang coba gali di sini, masih jauh dari kata cukup.
Tahu hal apa yang paling membahagaikan saat mengelola Kompasiana? Pada saat Kompasianer menuliskan artikel lalu viral di dunia digital bahkan hingga sampai dibaca di level pemerintah, bagaimana hanya dari sebuah artikel tapi mampu memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap keputusan pengelola negara atau apapun itu demi tujuan yang baik. Pada saat itulah kami merasa sudah sukses sebagai pengelola Kompasiana. Bahkan ada cibiran Kompasiana dianggap sebagai media yang mengejar rangking, perlu digarisbawahi sekali lagi kita bukanlah hamba pageviews, kita enggak akan terlalu perduli jika harus disalip media lain yang saat ini lebih gemar untuk membakar dana investornya untuk boosting di media sosial. Alexa hanyalah indikator seberapa berharganya sebuah situs, hanya sebagai jasa pemantau aktivitas.
Skip...
Kesan pertama yang paling mencolok dari tim ini adalah egaliter. Jika di kantor lain kamu harus izin terlebih dahulu untuk berbicara ke pada pimpinan, atau segala macam aturan ketat lainnya. Di sini semua dianggap memiliki derajat yang sama, tidak ada lagi ucapan antara pimpinan dan bawahan, semua adalah rekan kerja --walaupun dalam hal gaji tetap dibedakan, halah, bawahan ngarep gaji bos. Sekelas jabatan Kang Pepih, Mas Iskandarjet dan Uyuy kita tetap bisa memanggilnya layaknya teman bukan dengan sebutan "pak" atau "bos". Di kantor mana lagi yang di mana pimpinan masih biasa saja, ketika dikata-katain, dicengin tidak marah oleh bawahannya, selain di tempat ini.
Ketika kalian melakukan kesalahan di sini, bukan makian yang terlontar, justru tuntunan yang akan pertama keluar, bagaimana bersikap untuk langkah selanjutnya.
Di tempat ini juga, seluruh tim merasa ketika harus berangkat menuju kantor bukan lagi sebagai tuntutan kehidupan untuk bekerja dan menghasilkan uang, kita berangkat ke kantor untuk bertemu teman main. Teman bersenda gurau, mengelola Kompasiana dalam satu tujuan yang sama, walaupun bisa dikatakan masih jauh dari kata sempurna.
Saya selalu menganalogikan Kompasiana sebagai motor balap yang sangat langka dan hanya ada di Indonesia. Jika ada salah satu bagian tim ini memutuskan untuk pergi, saya selalu menganalogikan sebagai sparepart dari motor balap langka tersebut, sulit untuk diganti dengan part yang sama. Sekarang ini pun saya tidak ingat sudah berapa banyak rekan yang merupakan bagian dari part ini selalu silih berganti, berubah arah atau menyeberang ke motor balap tetangga. Motor balap langka (Kompasiana) ini terpaksa harus dipasang dengan part yang ada, part yang berbeda dari seharusnya, dan akan selalu melewati proses adaptasi. Di saat proses adaptasi yang belum meyakinkan, motor balap ini harus tetap dipacu agar tetap mampu berkompetisi dengan yang lainnya. Analogi yang tepat sepertinya.
Awal 2017, mungkin menjadi awal tahun kegamangan bagi saya sendiri. Lagi-lagi harus menganalogikan dengan motor balap, kami harus kehilangan part yang paling krusial untuk berbelok di tikungan demi tikungan selanjutnya hingga finish. Kami kehilangan kemudi. Kang Pepih, biasa kami memanggilnya. Memutuskan untuk meninggalkan "anak" yang dilahirkannya dengan susah payah, dengan caci maki dan cibiran.
Kang Pepih bagi saya sendiri, adalah sosok pemimpin yang saya yakin jarang ditemui di tempat-tempat lain. Sosok yang paling kaya akan ide dan inovasi, setiap minggu akan ada saja ide yang ingin diterapkan bahkan sampai-sampai membuat tim teknologi kewalahan di setiap minggunya. Sosok yang tak kalah bijaksana sebagai pemimpin, penentu kebijakan yang paling membuat pihak manapun puas dengan apapun keputusannya, tapi keputusannya kali ini benar-benar menghujam satu sisi.
Tiga bulan sebelumnya, sebenarnya sudah santer berita kemunduran beliau. Ada satu kekecewaan yang mendalam bagi saya sendiri sebagai bawahannya --walaupun kang Pepih enggan menyebut dirinya atasan. Sempat terbesit dalam hati, beliau sebagai kemudi seperti melepaskan kendali motor balap ini, membiarkan kami untuk berhenti di tengah race, atau parahnya mungkin membiarkan kami menabrakan diri ke dinding sirkuit. Berdiskusi dalam hati, saya memutuskan untuk tidak egois. Saya yakin ada ketidakpuasan dari dalam dirinya yang membuat beliau memutuskan untuk mundur, mungkin juga ide-ide yang kaya serasa terpenjara jika tetap memutuskan untuk bertahan di sini.
Tapi, dari keputusan beliau ini, entah mengapa muncul motivasi luar biasa yang muncul dalam diri saya sendiri. Saya harus lebih fokus, lebih bekerja keras, lebih menghargai hidup untuk bisa lebih berguna. Kompasiana di tengah problematikanya, harus kembali masuk ke dalam track dan bersaing. Kompasiana mempunyai segudang assets yang belum dimaksimalkan, yang diharapkan mampu memanjakan siapapun pengikutnya. Ratusan Kompasianer yang masih loyal hingga saat ini, puluhan Komunitas yang masih bertahan dan aktif adalah assets terbesar dan paling berharga yang dimiliki Kompasiana saat ini. Kami benar-benar sangat berterimakasih atas dedikasinya.
Di awal tahun 2017, kemudi telah diganti agar kami tetap bisa melaju. Walaupun banyak cibiran, Kompasiana akan hancur nasibnya setelah ditinggalkan pendirinya. Tapi percayalah di samping ada pemimpin yang baik, ada pasukan di belakangnya yang jauh lebih memahami kondisi medan perang. Black Pearl dengan dipimpin Captain Jack Sparrow pun tetap dapat menguasai samudera, begitu halnya Kompasiana. Tongkat kepemimpinan telah beralih, kemudi sudah bisa digunakan kembali, Kompasiana akan berusaha mengejar posisi depan. Dan, itu pasti.
Terima kasih, Kang Pep. Telah memberikan bekal yang berharga untuk menjalankan fungsi di generasi selanjutnya.